Syariat
Simbolik
Eksperimentasi
syariat Islam di Aceh (termasuk hukum cambuk), sesungguhnya memberikan gambaran
yang kuat tentang apa yang saya sebut dengan syariat simbolik. Bahwa yang
menjadi ukuran dalam pemberlakuan syariat Islam di propinsi ‘tsunami’ itu
adalah doktrin-doktrin sekunder dalam teks-teks keagamaan. Dengan kata lain,
apa yang terjadi di Aceh dengan pemaknaan syariat sebenarnya tidak menyentuh
esensi syariat, melainkan hanya sekadar euforia yang bersifat simbolik. Agama
tidak lagi dipahami sebagai esensi, substansi, dan komitmen, tetapi tradisi
kearaban yang bersifat sekunder.
Lebih
dari itu, dengan adanya polisi syariat yang diproyeksikan menjadi pengawas dan
pengontrol bagi pemberlakuan syariat, maka terjadilah ideologisasi syariat.
Artinya, penerapan syariat akan sangat tergantung pada sejauh mana peran aparat
keamanan (polisi), bukan pada kebebasan masyarakat untuk menerapkan ajaran
agamanya sesuai dengan pemahamannya.
Implikasinya,
polisi syariat sangat dimungkinkan akan melahirkan kecenderungan represif dan
otoritarianistik. Syariat hanya akan diterapkan secara terpaksa bagi
masyarakat, sedangkan pemerintah lokal dan aparat keamanan tidak mendapatkan
kontrol yang serupa. Polisi syariat tidak hanya berdampak negatif bagi suasana
keberagamaan yang pluralis dan inklusif, tetapi dipastikan dapat memandulkan
tradisi ijtihad atas doktrin-doktrin keagamaan, karena pemahaman keagamaan
sangat terpaut dengan otoritas politik.
Jika
syariat simbolik semacam ini diterapkan dan masuk dalam sistem hukum dan
politik di Indonesia, maka sangat dimungkinkan akan mengulangi sejarah kelabu
dalam Dinasti Umayah dan Abbasiyah, yang menggunakan syariat sebagai komoditas
politik (Misrawi, 2001).
Kecenderungan ke arah ini sangat nampak dalam penerapan hukum cambuk di Aceh. Indikasinya sangat jelas, ketika ternyata hukum cambuk itu hanya diberlakukan untuk mereka yang berekonomi lemah, seperti penjudi, pemabuk, dan pezina (Perda No 3/2003). Sama sekali tidak menyentuh tindak pidana dengan kerugian sosial, ekonomi, serta politik yang lebih besar, seperti pelaku korupsi yang biasanya ‘dekat’ dengan politik kekuasaan.
Kecenderungan ke arah ini sangat nampak dalam penerapan hukum cambuk di Aceh. Indikasinya sangat jelas, ketika ternyata hukum cambuk itu hanya diberlakukan untuk mereka yang berekonomi lemah, seperti penjudi, pemabuk, dan pezina (Perda No 3/2003). Sama sekali tidak menyentuh tindak pidana dengan kerugian sosial, ekonomi, serta politik yang lebih besar, seperti pelaku korupsi yang biasanya ‘dekat’ dengan politik kekuasaan.
Bila
ini yang terjadi, maka atas nama syariat, peminggiran terhadap kaum minoritas
dan tindakan represif dapat berlaku secara massif. Hal ini jelas bertentangan
dengan substansi syariat Islam sebagai jalan agama menuju keadilan dan harmoni
sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar