Formalisasi Syariat Islam dalam Konteks Kekinian


Formalisasi Syariat Islam dalam Konteks Kekinian

Karena nilai keabadian dan universalitas Alquran terletak pada prinsip moralnya, maka pernyataan hukum (legal specific) seperti hukum potong tangan, cambuk, jilid, dan sebagainya, tidak berlaku secara universal. Hukuman itu hanyalah solusi temporal dan bersifat tentatif atas peristiwa-peristiwa yang muncul saat Alquran diturunkan.
Tampaknya, tidak ada isu tentang Islam dan politik di Indonesia yang cukup sensitif, aktual, dan kontroversial, kecuali isu formalisasi syariat Islam. Yang menarik untuk dicermati lebih lanjut dari maraknya tuntutan formalisasi syariat Islam hingga kini adalah, belum terlihat adanya pemaknaan yang lebih maju terhadap syariat. Sesuatu yang sering dilupakan oleh umat Islam bersemangat (konservatif) dalam melihat syariat Islam adalah dari aspek historisnya. Karena itu, kalangan konservatif menganggap, bahwa formalisasi syariat adalah dengan merevitalisasi (kalau bukan mengadopsi) nilai-nilai keislaman yang berkembang di Timur Tengah sebagai jalan untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi.

Jika demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa agama dipahami sebagai warisan kesejarahan yang harus diterima secara taken for granted (bi la kaifa). Alhasil, syariat dipahami secara reduksionis menjadi hukum-hukum partikular (fikih). Syariat dimaknai hanya menutupi aurat, mencantumkan huruf Arab, memberlakukan hukum cambuk, yang diperkuat dengan pengawasan oleh polisi syariat. Realitas ini secara kasat mata bisa dilihat dan sangat jelas terbentang dalam layar syariat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah berlaku sejak 1 Muharram 1423 H.
Sejak awal memang dapat dibaca bahwa kultur keberagamaan yang berkembang di Aceh tidak memberikan ruang yang luas bagi budaya, sehingga langgam keberagamaan terlihat bersifat simbolik-literalistik. Aceh tidak mempunyai eksperimentasi yang cukup untuk memahami agama dengan menggunakan optik budaya, yang memungkinkan adanya bergaining discourse antara ajaran keagamaan dan budaya. Di satu sisi, agama harus mengikuti budaya, tapi di sisi lain, budaya harus mengakomodasi agama. Namun, teori timbal-balik kebudayaan terlihat sangat langka dalam disket keagamaan yang berkembang di Aceh selama ini.
Persoalannya, bagaimana membangun wajah syariat Islam yang selama ini terkesan menakutkan dan cenderung ‘kearab-araban’ alias ahistoris itu, menjadi sosok syariat yang elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial, sekaligus tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme yang kini menjadi isu politik global. Dengan kata lain, syariat Islam yang seperti apakah yang sekiranya relevan untuk dikembangkan dalam konteks kekinian? Inilah fokus kajian tulisan ini.

Syariat Simbolik
Eksperimentasi syariat Islam di Aceh (termasuk hukum cambuk), sesungguhnya memberikan gambaran yang kuat tentang apa yang saya sebut dengan syariat simbolik. Bahwa yang menjadi ukuran dalam pemberlakuan syariat Islam di propinsi ‘tsunami’ itu adalah doktrin-doktrin sekunder dalam teks-teks keagamaan. Dengan kata lain, apa yang terjadi di Aceh dengan pemaknaan syariat sebenarnya tidak menyentuh esensi syariat, melainkan hanya sekadar euforia yang bersifat simbolik. Agama tidak lagi dipahami sebagai esensi, substansi, dan komitmen, tetapi tradisi kearaban yang bersifat sekunder.
Lebih dari itu, dengan adanya polisi syariat yang diproyeksikan menjadi pengawas dan pengontrol bagi pemberlakuan syariat, maka terjadilah ideologisasi syariat. Artinya, penerapan syariat akan sangat tergantung pada sejauh mana peran aparat keamanan (polisi), bukan pada kebebasan masyarakat untuk menerapkan ajaran agamanya sesuai dengan pemahamannya.
Implikasinya, polisi syariat sangat dimungkinkan akan melahirkan kecenderungan represif dan otoritarianistik. Syariat hanya akan diterapkan secara terpaksa bagi masyarakat, sedangkan pemerintah lokal dan aparat keamanan tidak mendapatkan kontrol yang serupa. Polisi syariat tidak hanya berdampak negatif bagi suasana keberagamaan yang pluralis dan inklusif, tetapi dipastikan dapat memandulkan tradisi ijtihad atas doktrin-doktrin keagamaan, karena pemahaman keagamaan sangat terpaut dengan otoritas politik.
Jika syariat simbolik semacam ini diterapkan dan masuk dalam sistem hukum dan politik di Indonesia, maka sangat dimungkinkan akan mengulangi sejarah kelabu dalam Dinasti Umayah dan Abbasiyah, yang menggunakan syariat sebagai komoditas politik (Misrawi, 2001).
Kecenderungan ke arah ini sangat nampak dalam penerapan hukum cambuk di Aceh. Indikasinya sangat jelas, ketika ternyata hukum cambuk itu hanya diberlakukan untuk mereka yang berekonomi lemah, seperti penjudi, pemabuk, dan pezina (Perda No 3/2003). Sama sekali tidak menyentuh tindak pidana dengan kerugian sosial, ekonomi, serta politik yang lebih besar, seperti pelaku korupsi yang biasanya ‘dekat’ dengan politik kekuasaan.
Bila ini yang terjadi, maka atas nama syariat, peminggiran terhadap kaum minoritas dan tindakan represif dapat berlaku secara massif. Hal ini jelas bertentangan dengan substansi syariat Islam sebagai jalan agama menuju keadilan dan harmoni sosial.

Syariat Liberal
Uraian di atas menggambarkan, ketika syariat Islam dipahami secara simbolik dan direduksi dengan kawasan wajib tutup aurat, diawasi oleh polisi syariat, penerapan hukum cambuk, atau hukum potong tangan, tampaknya tidak relevan dan bahkan kontraproduktif bila diterapkan di Indonesia yang pluralistik ini.
Namun, jika dipahami dengan paradigma liberal (syariat liberal), maka akan menemukan karakternya yang inklusif dan toleran, sekaligus relevan dengan realitas kekinian yang dihadapkan pada isu pluralisme, demokrasi, dan HAM, yang menjadi agenda utama politik dunia global, termasuk di Indonesia.
Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook (1998), memetakan syariat Islam dalam visi liberalnya menjadi tiga. Pertama, liberal syariah, dalam pengertian bahwa syariat dalam teks tertulis adalah bersifat liberal jika dipahami secara benar. Sikap liberal ini bukan semata-mata pilihan manusia, tetapi perintah dari Tuhan yang termaktub dalam Alquran. Kedua, silent syariah, dalam pengertian bahwa tidak semua persoalan hidup tertampung dalam syariat. Karena dalam kenyataannya, syariat tidak menyediakan jawaban atau konsep tentang masalah tertentu, sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada manusia atau menggunakan mekanisme ijtihad. Ketiga, interpreted syariah, dalam pengertian bahwa praktik syariat dipahami dan dijelaskan oleh penafsiran manusia. Interpretasi manusia terhadap syariat dilakukan sebagai model kreativitas intelektual terhadap doktrin agama yang memang membutuhkan tafsir karena tidak tercakupnya semua problem kehidupan manusia.
Itu sebabnya, Qomaruddin Khan dalam Political Concepts of Islam (1983), sebagaimana dikutip oleh Zada (2001), menyayangkan pandangan yang salah dari sejumlah kaum Muslimin bahwa Alquran berisi penjelasan yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Sehingga mereka cukup mendasarkan agendanya pada bagaimana memberlakukan atau menerapkan pesan-pesan Alquran secara literal.
Padahal, pandangan literal ini mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang literal, yang hanya menekankan dimensi ‘luar’-nya. Dan, kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi ‘kontekstual’ dan ‘dalam’ dari prinsip-prinsip Islam.
Karena itu, apa yang mungkin tersirat di balik ‘penampilan-penampilan tekstualnya’ hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya. Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara kaum Muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Alquran sebagai instrumen Ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.
Karena itu pula, letak pokok masalahnya adalah, bagaimana memahami syariat yang tertuang dalam Alquran. Itu sebabnya, konteksnya bukan lagi bagaimana memberlakukan syariat Islam, melainkan bagaimana memahami syariat Islam dalam visi Islam liberal, sehingga syariat Islam secara praksis tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme yang tumbuh dalam dunia modern.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud syariat liberal adalah menafsirkan syariat Islam secara substansial dalam konteks masyarakat kekinian. Perlu dicatat, bahwa kata ‘liberal’ yang dilekatkan pada kata ‘syariat’ sama sekali bukanlah penggagahan, apalagi konspirasi manipulatif terhadap syariat itu sendiri. Melainkan, meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla (2002), menafsirkan syariat Islam secara non-literal, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.

0 Komentar