Syariat
Liberal
Uraian
di atas menggambarkan, ketika syariat Islam dipahami secara simbolik dan
direduksi dengan kawasan wajib tutup aurat, diawasi oleh polisi syariat,
penerapan hukum cambuk, atau hukum potong tangan, tampaknya tidak relevan dan
bahkan kontraproduktif bila diterapkan di Indonesia yang pluralistik ini.
Namun,
jika dipahami dengan paradigma liberal (syariat liberal), maka akan menemukan
karakternya yang inklusif dan toleran, sekaligus relevan dengan realitas
kekinian yang dihadapkan pada isu pluralisme, demokrasi, dan HAM, yang menjadi
agenda utama politik dunia global, termasuk di Indonesia.
Charles
Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook (1998), memetakan
syariat Islam dalam visi liberalnya menjadi tiga. Pertama, liberal syariah, dalam
pengertian bahwa syariat dalam teks tertulis adalah bersifat liberal jika
dipahami secara benar. Sikap liberal ini bukan semata-mata pilihan manusia,
tetapi perintah dari Tuhan yang termaktub dalam Alquran.
Kedua, silent
syariah, dalam pengertian bahwa tidak semua persoalan hidup tertampung
dalam syariat. Karena dalam kenyataannya, syariat tidak menyediakan jawaban
atau konsep tentang masalah tertentu, sehingga penyelesaiannya diserahkan
kepada manusia atau menggunakan mekanisme ijtihad. Ketiga, interpreted
syariah, dalam pengertian bahwa praktik syariat dipahami dan dijelaskan
oleh penafsiran manusia. Interpretasi manusia terhadap syariat dilakukan
sebagai model kreativitas intelektual terhadap doktrin agama yang memang
membutuhkan tafsir karena tidak tercakupnya semua problem kehidupan manusia.
Itu
sebabnya, Qomaruddin Khan dalam Political Concepts of Islam (1983),
sebagaimana dikutip oleh Zada (2001), menyayangkan pandangan yang salah dari
sejumlah kaum Muslimin bahwa Alquran berisi penjelasan yang menyeluruh tentang
segala sesuatu. Sehingga mereka cukup mendasarkan agendanya pada bagaimana
memberlakukan atau menerapkan pesan-pesan Alquran secara literal.
Padahal,
pandangan literal ini mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami
Islam dalam pengertiannya yang literal, yang hanya menekankan dimensi
‘luar’-nya. Dan, kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh
sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi ‘kontekstual’ dan ‘dalam’ dari
prinsip-prinsip Islam.
Karena
itu, apa yang mungkin tersirat di balik ‘penampilan-penampilan tekstualnya’
hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya. Dalam contohnya yang
ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara kaum Muslim
untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Alquran sebagai instrumen
Ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi
kehidupan manusia.
Karena
itu pula, letak pokok masalahnya adalah, bagaimana memahami syariat yang
tertuang dalam Alquran. Itu sebabnya, konteksnya bukan lagi bagaimana
memberlakukan syariat Islam, melainkan bagaimana memahami syariat Islam dalam
visi Islam liberal, sehingga syariat Islam secara praksis tidak bertentangan
dengan demokrasi dan pluralisme yang tumbuh dalam dunia modern.
Dari
uraian di atas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud syariat liberal adalah
menafsirkan syariat Islam secara substansial dalam konteks masyarakat kekinian.
Perlu dicatat, bahwa kata ‘liberal’ yang dilekatkan pada kata ‘syariat’ sama
sekali bukanlah penggagahan, apalagi konspirasi manipulatif terhadap syariat
itu sendiri. Melainkan, meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla (2002),
menafsirkan syariat Islam secara non-literal, kontekstual, dan sesuai denyut
nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar