Epestimologi Syariat Liberal


Epestimologi Syariat Liberal 

Persoalan substansial yang harus dikedepankan ketika ingin membangun syariat liberal, adalah masalah epestimologi (metodologi). Dalam konteks ini, paling tidak ada tiga tokoh Muslim kontemporer yang kerangka epestimologinya dapat dijadikan sebagai basis acuan metodologis untuk membangun syariat liberal. Ketiganya adalah Fazlur Rahman (selanjutnya disebut Rahman) dengan double movement theory (teori gerakan ganda), Muhammad Shahrur dengan limitation theory (teori batas atau hudud), dan Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta’wil. Dari ketiga metodologi tersebut, hemat saya, double movement theory yang diintrodusir oleh Fazlur Rahman, tampaknya, cukup relevan untuk dikembangkan dalam upaya membangun syariat liberal.

Nah, karena double movement theory itu pada dasarnya dimaksudkan untuk menafsirkan Alquran secara lebih kontekstual, maka memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan Rahman sendiri terhadap Alquran menjadi hal yang niscaya. Dalam buku Devine Revelation and The Prophet (1978), sebagai seorang muslim, Rahman meyakini betul bahwa Alquran merupakan kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. Keyakinan ini, bagi Rahman, bersifat pivotal alias tidak bisa diganggu gugat. Tanpa keyakinan semacam ini, demikian Rahman, maka tidak seorang pun dapat disebut sebagai muslim nominal sekalipun.
Selanjutnya, dalam The Qur’anic Concept of God, The Universe and Man (1967), Rahman menampik doktrin tradisional yang mengatakan bahwa proses turunnya Alquran kepada Nabi SAW itu bersifat mekanik dan eksternal. Menurutnya, proses pewahyuan Alquran sebenarnya merupakan proses kreatif yang secara psikologis terjadi pada diri Nabi. Karena itu, dalam pandangan Rahman, Jibril bukanlah agen eksternal yang seolah-olah menyampaikan wahyu seperti tukang pos yang mengantarkan surat. Jibril adalah agen Allah SWT yang ada pada diri Nabi dan menjadi bagian dari diri Nabi itu sendiri, dan karenanya, Alquran menyebut Jibril dengan sebutan ‘Ruh’ (QS.26:194). Ruh yang dimaksudkan di sini adalah kekuatan, kemampuan atau agensi yang berkembang dalam hati Nabi dan yang jika diperlukan dapat berubah menjadi operasi wahyu yang aktual, meskipun pada awalnya Ruh itu ‘turun’ dari ‘atas’.
Lebih lanjut, dalam buku Islam (1979), Rahman mengatakan, “Ketika persepsi intuitif moral Muhammad mencapai puncaknya yang tertinggi dan menjadi identik dengan hukum moral itu sendiri (sesungguhnya di saat-saat seperti ini perilakunya sendiri mendapat pujian Alquran), maka ‘kalimat-kalimat wahyu diberikan bersama-sama dengan inspirasi itu sendiri’. Dengan demikian, Alquran adalah murni kata-kata ilahi. Tetapi, tentu saja secara sepadan ‘berhubungan intim’ dengan pribadi terdalam dari Muhammad dan tidak bisa diamati secara mekanis seperti halnya sebuah catatan. Kalam ilahi tersebut mengalir melalui pikiran atau hati Nabi”.
Dari sini dapat dipahami, bahwa menurut Rahman, Alquran adalah kalamullah yang mengalir melalui ingatan dan pikiran Nabi untuk merespon situasi moral-sosial Arab ketika itu dan muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis. Dengan katan lain, Alquran adalah respon ‘samawi’ terhadap kondisi aktual ‘Bumi’. Inilah yang kemudian membawa Rahman pada satu konklusi bahwa keabadian Alquran tidak terletak pada arti redaksional dan tekstualnya, tetapi pada makna di balik redaksi itu, yakni prinsip moralnya. Dengan demikian, Alquran bukanlah kitab undang-undang, tetapi lebih merupakan kitab tuntunan moral.
Dari sinilah, kemudian Rahman mengintrodusir sebuah metodologi penafsiran Alquran yang menjamin aktualisasi ajaran Alquran kapan dan di mana pun, yaitu double movement theory. Teori ini terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general). Artinya, sebelum seorang mufassir (penafsir) mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasan-alasan hukumnya (ratio legis-‘illat), baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit. Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan saat Alquran diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang mufassir. Baru setelah itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Alquran. Dengan demikian, gerakan pertama ini merupakan upaya untuk memastikan apa sebenarnya yang menjadi cita-cita moral (ideal-moral) dari pernyataan hukum yang dikandung oleh Alquran.
Kedua, dari yang umum kepada yang khusus. Artinya, pesan-pesan atau prinsip-prinsip Alquran yang ditemukan lewat gerakan pertama tersebut kemudian diproyeksikan, diformulasikan, dan diterjemahkan pada konteks kekinian untuk mengukur sekaligus menjawab kasus-kasus kontemporer. Meski proses ini membutuhkan kajian cermat terhadap situasi dewasa ini agar pengukuran kasus-kasus itu bisa dilakukan secara tepat, namun dari langkah inilah sebenarnya diharapkan nilai-nilai Alquran akan tetap segar dan hidup sepanjang zaman (salihun likulli zaman).
Dengan demikian, metodologi yang diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik. Metodologi semacam ini tentu saja akan membawa implikasi, bahwa yang namanya hukum Allah dalam pengertian seperti yang dipahami oleh manusia itu tidak ada. Yang ada dan abadi hanyalah prinsip moral. Dengan demikian, hukum potong tangan, misalnya, hanyalah salah satu model hukuman yang di-istimbath-kan (digali) dari prinsip moral, demikian pula hukum-hukum yang lain, seperti jilid seratus kali bagi pezina ghair muhsan (belum menikah), dan sebagainya.
Karena itu, menurut Abu Hapsin (2002), apa yang disebut ayat ahkam (ayat hukum) dalam terminologi ushuliyyin (pakar ushul fikih), dipandang Rahman sebagai ‘quasi’ hukum, bukan hukum. Sebab, hukum Allah yang abadi dan universal itu tidak terletak pada teks Alquran, tetapi terletak pada prinsip moralnya. Ayat tentang pencurian, misalnya, mengandung prinsip atau cita-cita moral bahwa hak milik harus dijaga. Penjagaan hak milik ini sudah barang tentu tidak harus diwujudkan dalam bentuk hukuman potong tangan sebagaimana tersurat dalam Alquran, tetapi boleh diganti dengan bentuk hukuman lain (penjara, misalnya) selama jelas-jelas dijamin bahwa hukuman pengganti itu dapat memelihara dan menjaga hak kepemilikan seseorang atas harta bendanya.
Muhammad al-Jabiri dalam Wijhatu al-Nazhr (1992) telah berhasil menafsirkan secara liberal hukum potong tangan sebagai salah satu tema penting dalam syariat Islam. Pertama, hukum potong tangan adalah hukum yang sudah ada pada Islam di Arab. Kedua, di masyarakat Badui dikenal dengan tradisi nomaden, sehingga sangat sulit bagi pelaku pencurian untuk dipenjara. Karena itu, hukuman yang diberikan adalah hukum potong tangan. Sedang pada masa Islam, situasinya tidak berubah, sehingga hukum potong tangan tetap berlaku.
Atas dasar argumentasi di atas, kemudian al-Jabiri memandang bahwa hukuman bagi pencuri substansinya bukanlah potong tangan, melainkan hukuman yang bisa membuat si pelaku menjadi jera. Ini artinya, hukum potong tangan bisa saja diganti dengan, misalnya, hukuman penjara. Demikian pula dengan hukum cambuk yang kini diberlakukan di Aceh, yang tentu saja sangat mungkin diganti dengan hukuman penjara.

0 Komentar