Perlunya Keutuhan Ideologi dalam Formalisasi Syariah


Perlunya Keutuhan Ideologi dalam Formalisasi Syariah

Seperti dijelaskan oleh Ustadz Ahmad al-Mahmud dalam kitabnya Ad-Da’wah ilâ al-Islâm (1995: 77), bahwa Barat telah melancarkan perang pemikiran (al-ghazw al-fikri) yang bertujuan untuk menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang sahih. Hasil dari serangan ini adalah umat Islam telah menakwilkan Islam agar sesuai dengan pemikiran Barat yang lahir dari ide sekularisme.
Apa yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni gagasan “Islam substantif”, merupakan contoh nyata dari bentuk perang pemikiran yang dimaksudkan Ustadz Ahmad al-Mahmud tersebut. Untuk menghadapi serangan ini, menurut Ustadz Ahmad al-Mahmud, umat Islam perlu memahami ideologi Islam secara utuh, yaitu sebagai kesatuan yang tak terpisahkan yang tersusun dari fikrah (ide) dan tharîqah (metode pelaksanaan ide). (Al-Mahmud, 1995: 70-73).

Yang dimaksud dengan fikrah adalah Akidah Islam serta berbagai pemikiran dan hukum yang lahir dari Akidah Islam itu seperti hukum-hukum yang mengatur ibadah, muamalat, makanan, pakaian, dan akhlak. Adapun tharîqah adalah hukum-hukum Islam yang berfungsi untuk mewujudkan, memelihara atau menyebarkan tharîqah itu. Contoh: Islam telah menerangkan bahwa zina hukumnya haram (fikrah) (QS Al-Isra’ [17]: 32). Namun, tak sekadar menetapkan fikrah, Islam juga menetapkan tharîqah agar zina benar-benar dapat dicegah, yaitu menetapkan hukuman cambuk bagi para pezina (QS an-Nur [24]: 2) sekaligus menentukan pelaksana hukuman ini, yakni Imam (Khalifah). Islam telah menetapkan shalat itu hukumnya wajib (fikrah). Tak hanya menetapkan fikrah, Islam juga menetapkan hukuman oleh negara bagi orang yang tidak melaksanakan shalat (tharîqah). Islam juga telah menetapkan bahwa mencuri itu hukumnya haram (fikrah), sekaligus menetapkan tharîqah untuk mewujudkan fikrah itu, yaitu hukuman potong tangan yang akan dijalankan oleh negara (QS al-Maidah [5]: 38). Ringkasnya, setiap ada suatu hukum yang ditetapkan Islam, Islam juga menetapkan hukum lain sebagai metode pelaksanaannya (tharîqah at-tanfîdz) serta menetapkan Imam (Khalifah) sebagai pemilik wewenang dalam pelaksanaannya dalam sebagian besar kasus. (Al-Mahmud, 1995: 72-73).
Konstruksi ideologi Islam yang utuh sebagai fikrah dan tharîqah ini mutlak diperlukan sebagai upaya untuk menghadang serangan perang pemikiran yang dilancarkan Barat, seperti doktrin “Islam substantif”. Doktrin palsu ini jelas bertujuan untuk menghancurkan ideologi Islam, dengan cara mereduksi total ajaran Islam hanya sebatas fikrah, seraya menghapuskan atau mengubah tharîqah dengan dalih tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Artinya, doktrin ini mengubah tharîqah agar sesuai dengan sistem sekular yang sedang diterapkan. Hukum potong tangan, misalnya, dianggap kejam dan biadab sehingga harus diganti dengan penjara atau denda finansial. Jihad sebagai upaya penyebaran Islam dianggap tak relevan lagi sehingga harus diganti dengan upaya dakwah lewat radio dan televisi. Negara Khilafah juga dianggap ketinggalan zaman dan harus diganti dengan sistem republik. Sebab, yang penting kata mereka, adalah penerapan nilai-nilai Islam, dan seterusnya. (Al-Mahmud, 1995: 72-73).
Itulah contoh-contoh yang menunjukkan, ketika ideologi Islam hanya dipahami sebatas fikrah saja, dengan menghapus atau mengubah tharîqah-nya. Dengan itu, formalisasi syariah akan menjadi tidak mungkin atau minimal cacat.
Jelaslah bahwa formalisasi syariah harus berbekal pemahaman ideologi Islam yang utuh, baik fikrah maupun thariqah-nya.
Selain itu, ide “Islam substantif” yang menghambat penerapan syariah harus dijelaskan pula kekeliruannya. Apa yang diajarkan doktrin ini bahwa hukum Islam dapat berubah-ubah sesuai waktu dan tempat, adalah jauh dari kebenaran, seperti jauhnya bumi dan langit. Kaidah “Lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyur az-zamân wa al-makân (Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan waktu dan tempat),” merupakan kaidah yang keliru, yang dirumuskan ketika umat Islam mengalami kemerosotan pemikiran yang paling parah pada abad ke-19.
Dalam konteks inilah, Imam Ibnu Hazm menegaskan, “Jika terdapat nash al-Quran dan as-Sunnah yang telah tetap dalam urusan tertentu yang hukumnya tertentu pula, maka yang benar adalah, nash itu tidak terpengaruh oleh pergantian tempat maupun perubahan keadaan. Sesungguhnya apa yang telah tetap itu akan tetap selama-lamanya, untuk setiap waktu, setiap tempat, dan setiap keadaan sampai ada nash lain yang datang menggesernya, sebagai hukum pada waktu yang lain, tempat yang lain, dan keadaan yang lain pula.” (Ibnu Hazm, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 5/771).

0 Komentar