Formalisasi Syariat Islam-Doktrin “Islam Substantif”


Formalisasi Syariat Islam
Doktrin “Islam Substantif”
Salah satu hambatan besar penerapan syariah Islam adalah doktrin “Islam substanstif”. Doktrin yang sengaja dilontarkan kaum liberal-sekular sejak abad ke-19 M ini mengatakan ajaran Islam dibedakan menjadi dua. Pertama: ajaran yang dianggap tetap dan universal, yang sering disebut dengan substansi (intisari). Fazlur Rahman menyebutnya “ideal moral”. Kedua: ajaran yang dianggap temporal dan lokal, yang karenanya bisa berubah-ubah sesuai dengan konteks waktu dan tempat. Bagian ajaran ini oleh Fazlur Rahman disebut ketentuan “legal spesifik”. (Fazlur Rahman, 1992: 21). Contohnya hukum potong tangan. Susbtansi hukum ini, kata mereka, adalah agar menimbulkan efek jera. Potong tangan hanya dianggap ketentuan temporal, yang konon kebetulan cocok dengan masyarakat nomaden pada masa Nabi saw. Karena itu, hukum potong tangan bisa diganti dengan hukuman penjara, karena yang penting adalah substansinya, yakni menimbulkan efek jera bagi pelakunya. (Mahmud dkk, 2005: 184; Coulson, 1990: 174; Watt, 1997: 226).

Doktrin “Islam subtantif” ini sebenarnya bagian dari agenda “pembaruan” (modernisme) yang melanda Dunia Islam pada abad ke-19. Tokoh-tokoh awalnya di antaranya adalah Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), Ameer Ali (w. 1928) dan Qasim Amin (w. 1908). Namun, trend modernisme di Dunia Islam ini pun sebenarnya hanya kelanjutan dari trend modernisme sebelumnya yang terjadi di Barat; baik di kalangan Yahudi dengan tokohnya semisal Steinheim (w. 1866) dan Holdheim (w. 1860), maupun di kalangan Kristen (Katolik/Protestan) dengan tokohnya semisal George Tyrell (w. 1909) dan August Spateah (w. 1901). (Said, 1995: 99-126).
Apa gagasan dasar modernisme itu? Dalam Encyclopedia Americana (V/29) disebutkan, modernisme adalah pandangan (visi) bahwa ajaran agama ortodoks harus ditafsirkan menggunakan pemahaman filsafat dan pemikiran kontemporer. Dengan kata lain, modernisme merupakan suatu usaha untuk menundukkan ajaran agama di bawah peradaban dan ideologi Barat (sekularisme). (Said, 1995: 101). Jadi, ideologi Barat adalah standar yang tetap dan tidak berubah-ubah. Sebaliknya, ajaran agama (termasuk Islam) adalah variabel yang bisa berubah-ubah, yang harus ditundukkan dan disesuaikan dengan ideologi Barat itu.
Dengan demikian, terdapat benang merah antara doktrin “Islam substantif” dan gagasan modernisme. Apa yang disebut substansi dalam doktrin “Islam substantif” sebenarnya hanya ungkapan halus atau ambigu untuk ideologi Barat, yang dijadikan standar baku untuk mengukur salah-benarnya—atau relevan-tidaknya—ajaran/hukum Islam. Lalu apa yang disebut dengan legal spesifik sebenarnya adalah hukum Islam yang mestinya wajib diterapkan, tetapi kemudian dijadikan obyek permainan intelektual untuk dibongkar dan diubah-ubah agar sesuai dengan ideologi Barat.
Tujuan doktrin “Islam substantif” di satu sisi adalah untuk mementahkan dan melumpuhkan gagasan formalisasi syariah (penerapan syariah oleh negara). Di sisi lain, doktrin itu bertujuan untuk melestarikan sistem kehidupan sekular yang dipaksakan oleh penguasa agen Barat di Dunia Islam saat ini.
Jadi, doktrin “Islam substantif” ini sungguh sangat jahat dan berbahaya, karena menjadi hambatan besar bagi penerapan syariah Islam. Perjuangan suci untuk melaksanakan formalisasi syariah itu akan dimentahkan seenaknya dengan kalimat yang selalu nyaris klise. Misalnya, dikatakan bahwa yang penting bukanlah legal-formalnya (penerapan syariah), melainkan substansi nilai-nilai Islam seperti keadilan, persamaan, kemanusiaan, kedamaian dan seterusnya (Mas’ud, 2006: xv).
Implikasi doktrin “Islam substantif” tentu mudah ditebak. Kalau formalisasi syariah sudah dimentahkan, ujung-ujungnya adalah penolakan perlunya negara Khilafah yang berfungsi untuk melaksanakan formalisasi syariah secara utuh.

0 Komentar