Epilog
Uraian
di atas menyajikan sebuah fakta tak terbantahkan, bahwa sesungguhnya
eternalitas Alquran itu tidak terletak pada arti teksnya (zahir al-nas),
melainkan terletak pada prinsip dan cita-cita moralnya. Alquran bukanlah kitab
undang-undang yang siap saji, karena bagaimanapun ia merupakan hasil dari
sebuah proses dialogis antara pesan-pesan Samawi yang abadi dengan kondisi
aktual Bumi pada saat Alquran diturunkan.
Lebih
dari itu, karena nilai keabadian dan universalitas Alquran terletak pada
prinsip moralnya, maka pernyataan hukum (legal specific) seperti hukum potong
tangan, cambuk, jilid, dan sebagainya, tidak berlaku secara universal. Hukuman
itu hanyalah solusi temporal dan bersifat tentatif atas peristiwa-peristiwa
yang muncul saat Alquran diturunkan.
Dengan
kata lain, hukuman itu merupakan suatu produk transaksi antara keabadian Allah
dan situasi ekologis aktual bangsa Arab abad ke-7. Karenanya, bentuk hukuman
itu bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi waktu dan tempat (taghayyur
al-ahkam bi-taghayyur al-amkan wa al-azman), asalkan tetap mencerminkan
nilai dan prinsip moral Alquran yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam
klasik disebut dengan maqashid al-syari’ah.
Walhasil,
dari gagasan liberalisme yang diusung oleh Rahman melalui double movement
theory-nya itu, ia seolah-olah ingin mengatakan dan berwasiat kepada kita:
“Bahwa perdebatan tentang syariat Islam hendaknya tidak lagi berkutat pada
formalisasi diktum-diktum syariat (Alquran-Alsunnah) dalam sistem hukum yang
berlaku di sebuah negara, melainkan terletak pada bagaimana menemukan makna
substantif syariat Islam dalam visi liberalnya”. Penulis pun mengamininya dan haq
al-yakin, karena hanya dengan syariat liberal inilah, maka syariat Islam
akan menemukan sosoknya yang elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel dalam
menghadapi perubahan sosial dan zaman, sekaligus relevan untuk diterapkan dalam
konteks kekinian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar