Perkembangan
ushul fiqih pada masa Nabi.
Di zaman
Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila
suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum
kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum
kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau
sunnah.
Hal ini
antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
Hasil
ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits
tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan
yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini
Nabi bersabda yang artinya : “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu
keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az
saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran).
Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil
keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Raulullah. Tanya Nabi, jika
engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan
saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya
mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya
pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits
ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan
Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan
dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam
Al-Quran dan Sunnah.
Artinya
dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah
telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah
haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap
urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda : “Kamu lebih mengetahui tentang
urusan duniamu.”
Dorongan
untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan
tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya
yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau
salah.
Selain
dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri
pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad
setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam
hadits-haditnya sebagai berikut :
“Seorang
wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah
saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan
karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah
dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau
harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar.
Hadits
ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang
sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban
ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan
penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara
sesama manusia.
Ada satu
hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal dalam
permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu pihak,
dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka
penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini
cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh
oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam bidang muamalah.
Berbeda
dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis
besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya diserahkan kepada
manusia. Manusia dengan akal yang dianugerahkan kepadanya diberi peranan lebih
banyak. Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut mendukung terhadap
pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Dalam
beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab
tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah
SAW bersabda :
“Apabila
kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar
menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka
teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits
ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah
menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak
batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana
tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar